Memacu adrenalin di Pulau Bunta (Bagian Pertama)

20140201_121005

Tepat 2 hari sebelum ulang tahun saya di tahun ini, tiba-tiba di pagi hari saya mendengar suara HP tanda masuknya sebuah SMS.

“We’ll meet at Mesjid Ulee Lee at 9 O’clock. From BECzatin”

Rupanya kak Zatin kirim SMS reminder bagi yang berangkat ke Pulau Bunta. Saya bersama adik saya yang cewek, terus menyiapkan segala kebutuhan untuk berada di sana selama 2 hari dan 1 malam.
Pulau Bunta adalah pulau yang terletak diantara penghujung Banda Aceh dan pulau Nasi. Pulau Breuh juga terlihat dengan jelas dari sini. Hanya butuh waktu 15-20 menit perjalanan laut untuk mencapai pulau Bunta. Salah satu yang membuat pulau Bunta ini keren adalah karena adanya terumbu karang merah, jenis terumbu karang langka dan salah satunya ada di Raja Ampat.

Bagi saya, ini adalah kedua kalinya menginjakkan kaki di pulau Bunta ini. Pertama kalinya adalah saat liburan bersama anggota Aceh Forex Community dan Aceh Diver Club. Bedanya, dulu pergi pagi dan pulangnya sore, tanpa menginap. Kali ke dua ini, kita menginap semalam. Pergi hari sabtu pagi dan balik lagi ke Banda Aceh hari Minggu sore.

1

Setelah berkumpul di Mesjid Ulee Lee, kita langsung berangkat ke Ujung Pancu. Kita berangkat dari dermaga sana dengan menggunakan boat. Dari sinilah petualangan dimulai.

Boat, ombak besar, lautan dalam, tidak bisa berenang, arus kuat, tsuanami, pelampung, peluit, bajak laut, kalau tenggelam bagaimana, kalau boat bocor, kalau tidak bisa pulang lagi, dan berbagai kosa kata dan pertanyaan aneh-aneh mucul dalam pikiran masing-masing. Walau saya sudah beberapa kali menempuh perjalanan laut seperti ini, tetap juga tidak bisa memungkiri adanya pikiran semacam itu walau cuma sebentar saja.

Berada di dalam boat dengan pemandangan laut dan pulau-pulau, terasa bangga bisa lahir di Indonesia. Laut yang hijau dengan ombak dan riak menghempas tebing karang setiap pulau, ditambah suara desiran angin, mampu mengalahkan suara mesin boat yang ada di dekat saya. Saya bisa merasakan kulit tangan saya yang hangat, sengaja tidak memakai lotion sunblock yang sudah dibagikan, menyentuh percikan air laut di pinggir boat. Semua ini mampu menghilangkan rasa takut.

Di dekat saya ada Ilham, Agus, Citra, dan Akang (saya tidak pernah menanyakan nama aslinya, cuma panggilan untuk pria ini adalah Akang). Ilham dan Citra, sebagai koordinator, menunjukan pulau Nasi dan juga pulau Breuh kepada saya. Walau sebenarnya saya sudah tahu. Hehehe ๐Ÿ™‚ Juga pulau Bate, Lhok ketapang di lihat dari laut. Nah, yang ini saya belum tahu. Hehe ๐Ÿ™‚ Sementara di sisi depan Boat, Citra dengan kamera SLR-nya mengambil beberapa gambar untuk mengabadikan moment-moment di atas boat. Ia juga dengan cekatan membidik pulau-pulau cantik dengan karang-karang yang terjal, juga denga pasir putih yang terlihat seperti gurun kecil.

1-5

Sementara di belakang saya, ada kak Zatin, Dekpi, Ikal dan Ramadhan. Mereka juga siap dengan kamera masing-masing. Terlihat asyik mengambil gambar apa saja. Bahkan boat lain yang sering sekali lewat, sering juga dijadikan objek foto.

Ketika mulai terlihat pulau Bunta, semuanya tersenyum sumringah di wajah. Beberapa menit kemudian, kami bisa melihat tempat bertemunya arus laut dari Samudera Hindia dan arus laut lain dekat Lhok Keutapang dan pulau lain. Terlihat airnya berputar pelan tanpa ombak. Melihat ini, saya teringat akan isi salah satu ayat di dalam QS. Ar-rahman yang menjelaskan tentang kuasanya Allah swt dalam mempertemukan arus laut yang berbeda.

20140201_144731

Ketika boat mulai merapat ke dermaga yang ada di pulau ini, mata kami disambut dengan pemandangan air jernih yang bisa dilihat langsung ikan serta terumbu karang yang cantik. Kami terlena dengan pemandang itu dan tanpa teras sudah merapat ke pantai.

Saya melihat ke dermaga yang dulunya ketika pertama datang kesini masih dibangun, sekarang sudah selesai. Tapi sayang, rupanya dermaga ini tidak bisa dipakai karena terlau pendek atau terlalu tinggi, menurut saya. Bila air surut, boat yang sudah berlabuh tidak bisa keluar lagi karena kandas di atas karang. Para Nelayan atau pengujung pulau ini harus menunggu air kembali pasang, baru bisa mengeluarkan boatnya. Hal ini butuh perhatian pemerintah bila ingin memajukan pariwisata.

1-6

Setelah menurunkan semua barang, kami langsung disambut dengan sebuah papan bertuliskan “Selamat datang di Pulau Bunta, Aceh Besar”. Barang kami tumpukkan di atas sebuah tempat duduk terbuat dari papan. Kami juga bersalaman dengan salah satu warga yang tinggal di situ yang datang menyambut kami.

Segera setelah itu, kami berjalan melewati hutan kecil melalui jalan setapak yang sudah disemen. Terdapat rumah-rumah kayu berbentuk panggung di sebelah kanan kami. Sampai beberap langkah kedepan, kami melewati sebuah tulisan “Tamu wajib lapor 1×24 jam” dan ada bale ukuran sedang, sumur tempat mandi, dan juga mushala dengan bangunan permanen. Di dekat sinilah, spot center kami karena biar dekat dengan sumur dan juga mushalla. Kami berjalan ke kiri dan tepat di bawah pohon ketapang pinggir pantailah kami jadikan basecamp.

20140201_122513 1-8

Setelah meletakkan semua barang di spot center yang sudah ditentukan, kita semua segera lumpuh dari ingatan kerjaan, tugas, kewajiban, laporan, dan segala kesibukan harian lainnya. Deru ombak yang lembut dengan syahdunya bermelodi acak melewati daun telinga kami. Pasir putih yang halus terasa di setiap kaki kami. Hijaunya air di pingir pantai dan birunya air di kejauhan memasuki retina mata kami masing-masing. Terasa seperti di Bora-bora, Perancis. ๐Ÿ™‚

20140201_124227

Ikan segar sebagai salah satu menu makan siang ini
Ikan segar sebagai salah satu menu makan siang ini

“Makan siang sudah masak ya? Siapa yang mau makan ambil trus sendiri” suara Citra, sang koordinator yang jago masak menyadarkan kembali perut kami yang sebenarnya sudah lapar. ๐Ÿ™‚ Waktu itu, kita makan siang dengan menu ikan goreng segar dan juga kuah dengan aroma menggoda.

Untuk shalat berwudhu langsung di laut, kiblat pakai kompas, dan menggunakan alas matras tidur.
Untuk shalat berwudhu langsung di laut, kiblat pakai kompas, dan menggunakan alas matras tidur.

Setelah shalat bersama, saya langsung ganti pakaian untuk snorkling melihat indahnya bawah laut dengan terumbu karang yang kece-kece dan ikan yang ngegemasin. Tapi, Citra dan Ilham, yang juga koordinator, saranin agar nanti saja berenangnya atau besok pagi saja karena gelombang tinggi dan arusnya juga kuat. Saya tidak penduli dengan saran mereka dan langsung pakek kaca mata bawah laut serta alat snorkling, dan sepatu katak, terus nyemplung ke air. Rupanya waktu itu memang lagi tinggi-tinggi ombaknya dan susah untuk melakukan snorkling dengan tenang. Dasar sedikit keras kepala, tangan saya mengenai karang tajam dan terluka. Baru deh saya naik lagi ke darat dan tidak snorkling lagi.

Mencari posisi snorkling sendiri
Mencari posisi snorkling sendiri
Akibat tidak patuh pada aturan
Akibat tidak patuh pada aturan (sudah penggunakan betadine (P3K))

Jam 3 sore, kita berangkat melakukan trecking, menelusuri dan mengelilingi pulau Bunta ini melalui pinggir pantai. Banyak hal yang kami jumpai di sini. Mulai dari kerang yang bisa dimakan, yang beracun, yang langka, yang dilindungi dan banyak hal lainnya.

Ramadhan sedang mengambil gambar terumbu karang
Ramadhan sedang mengambil gambar terumbu karang

Di perjalanan, kami juga menjumpai beberapa anak muda yang sengaja datang dari Banda Aceh untuk memancing di sini. Mereka biasaya balik lagi ke Banda Aceh sore hari. Bahkan pada hari itu, ada juga komunitas fotografer yang melakukan pemotretan model di sini.

Sang koki handal dengan kamera sedang memandang laut
Sang koki handal dengan kamera sedang memandang laut
Tebing cantik dengan latar belakang Samudera Hindia
Tebing cantik dengan latar belakang Samudera Hindia
Kaum hawa yang sering terlihat kompak
Kaum hawa yang sering terlihat kompak
Ikal, kak Zatin, Dekpi, Agus dan Saya (Dari kiri)
Ikal, kak Zatin, Dekpi, Agus dan Saya (Dari kiri)

Dipenghujung pulau yang dekat dengan samudera hindia, kami mendapati lereng tembing dengan lekukan seperti dalam salah satu video klip Brithney Spear. Langsung deh sindrome narsis setiap orang kambuh kembali di sini. Hehehe ๐Ÿ™‚

Tiba di penghujung, kami harus menaiki tebing dengan ketinggian sekitar 20 meter. Namun, karena waktu sudah ashar, kami shalat ashar sebentar di atas pasir sebelum naik tebing. Untuk arah kiblat, kita menggunakan kompas yang memang sudah disiapkan atau kadang melihat arah matahari tenggelam. Untuk berwudhu’, kita bisa langsung berwudhu dengan air laut dan berdiri di bebatuan.

Shalat ashar di samping samudera Hindia
Shalat ashar di samping samudera Hindia

Sebelum menaiki tebing ini, kami bener-bener terkejut melihat ketinggian tebing karena terlalu tinggi bagi kami yang bukan atlit panjang tebing. Dalam benak kami terdapat keraguan yang nyata dan jelas terlihat di wajah masing-masing. Walaupun ada tali untuk berpegangan, rasa ciut itu tidak bisa dipungkiri hadirnya di hati.

Setelah salah seorang dari kami mencapai puncak, baru berani dan semangat 45 muncul. Apalagi dua orang cewek bisa mencapai puncak juga. Yaitu kak Zatin dan juga adik saya, Dekpi. Bahkan Dekpi malahan mengenakan rok lagi. Baru deh satu-satu orang memanjat sampai ke puncak tebing semuanya.

2 makhluk ini berani juga rupanya
2 makhluk ini berani juga rupanya
Bagaikan spiderman, Ikal memanjat tebing
Bagaikan spiderman, Ikal memanjat tebing
Ramadhan pelan-pelan menggapai puncak
Ramadhan pelan-pelan menggapai puncak
Akhirnya tiba juga di puncak, tinggal Citra sendiri yang masih tinggal di bawah memotret kami
Akhirnya tiba juga di puncak, tinggal Citra sendiri yang masih tinggal di bawah memotret kami

Di sinilah misi kami, mengejar sunset tercapai. Rasa takjub memandang samudera Hindia, pulau Nasi, pulau Breuh dan pulau Tunom, mampu mengerakkan kata “maha besar Allah swt”. Dahsyatnya Acehku, dahsyatnya Indonesiaku. Bangga dilahirkan di negeri yang indah ini.

Beberapa menit lagi akan ada sunset di belakang kami
Beberapa menit lagi akan ada sunset di belakang kami
Saya dengan latar belakang sunset
Saya dengan latar belakang sunset

Puas memandangi sunset dan foto-foto, kami menuju kantor yang ada di dekat mercusuar untuk numpang shalat magrib. Saya tidak mendapatkan info resmi kantor apa ini. Kantor ini seperti kantor yang mungkin berada di bawah dinas perhubungan laut. Alat komunikasi dan juga penjaganya ada di sini. Mereka biasanya 2 bulan sekali dipindahkan ke pulau lain. Tugasnya menjaga kapal atau boat yang masuk ke wilayah ini. Semacam itulah tugasnya, selain menghidupkan mercusuar.

Di dekat mercusuar, kami juga bertemu anak-anak muda yang camping dan duduk-duduk dekat tenda sambil memasak menggunakan api. Kami saling menyapa ramah.

Kami shalat magrib bersama di kantor ini dengan nyaman. Istirahat sebentar, minum air dengan rakusnya yang sudah disediakan gratis oleh bang David, penjaga kantor ini. Katanya, ia orang sumatera utara dan memang terlihat logat khas Bataknya. Dengan ramahnya, ia mempersilahkan kami beristirahat, menggunakan kamar mandi yang bersih, minum air dingin es yang memang susah didapatkan. Sementara di kantor ini, menggunakan listrik tenaga matahari. Katanya, walaupun hujan terus selama satu bulan, power listrik yang sudah di saving cukup. Begitupula dengan rumah warga yang tinggal di sini, juga menggunakan listrik tenaga matahari. Walau mereka juga mempersiapkan genset.

Setelah minta pamit pada bang David, kami berjalan kembali untuk mencapai basecamp kami dipinggir pantai. Bang David juga meminjamkan kami tambahan senter walau kami punya senter juga. Ia juga melihat Dekpi yang mengenakan sandal biasa dan licin, maka ia meminjamkan sepatu khas nelayan biar tidak lecet kaki melewati kerikil-kerikil kecil di hutan yang gelap.

Karena dalam kegelapan yang maha gelap, kami membentuk barisan agar bisa saling terhubung. Penerangan hanya menggunakan senter di kepala dan senter HP, jadi yang satu orang yang di depan, Ilham, mengarahkan jalan dengan lampu terang di kepalanya, dan Citra berada di barisan paling belakang dengan senter diarahkan ke depan. Ditengah-tengah adalah saya, Dekpi, kak Zatin, Agus, Ramadhan. Sementara Ikal kadang ia sering ke depan sendiri melewati Ilham. Ketika ditengah perjalanan kami beristirhat sejenak, kami sering bercada dengan mengatakan kalau mata Ikal seperti night vision kelelawar. Ikal cuma ketawa aja. Hehehe:-)

Rasa takut juga berkecamuk di benak kami saat melewati hutan ini. Mungkin lebih kurang mengabiskan waktu satu jam di dalam hutan yang gelap ini. Tidak terasa lagi capeknya. Yang ada dibenak kami adalah, bagaiman kalau jatuh kejurang ketika ditelinga kami terdengar deruan ombak laut yang semakin jelas. Selain itu, juga kepikiran babi yang akan memakan kami hidup-hidup. Macam-macam deh pikiran anehnya. Padahal di sini, babinya tidak menganggu pengunjung. Mereka menghindari pengunjungnya.

Ketika kami melewati rumah panggung warga, baru deh tenang perasaannya. “Alhamdulillah” kalimat syukur keluar dari mulut kak Zatin. Segera ia merebahkan badan di matras tidur karena kecapeaan ketika sampai di Basecamp. Sementara yang lain Citra dan Ilham mepersiapkan makan malam dan juga 3 tenda. Satu tenda untuk cewek dan 2 tenda untuk cowok.

Setelah shalat insha dan makan malam dengan menu ayam bakar yang dipanggang di api unggun, kak Zatin dan Dekpi segera masuk ke tenda dan tidur terlelap sampai besok pagi. Mungkin karena capek kali ya. ๐Ÿ™‚

Sementara, kami yang cowok, walau terasa ngantuk, tidak juga bisa tidur karena kena suguhan kopi si Ikal, sang peracik kopi amatir hehe ๐Ÿ™‚ . Kita ngomong-ngomong di luar, main sambung-sambung kata, ngomong banyak hal. Sementara saya melihat Citra tidak ada di sekitar kami. Rupanya ia sedang asyik mengambil gambar bintang dari kegelapan malam di pinggiran pantai dekat dengan laut.

Saya menghampiri Citra dan melihat hasil bidikan kameranya. Disana, Citra juga menunjukkan kepada saya plankton yang bercahaya warna warni di pantai. Seperti kunang-kunang. Banyak sekali di air. Saya mencoba ,menangkap menggunakan tangan. Tapi, susah karena terlalu kecil. Mereka hanya bisa dilihat dalam kegelapan dan tidak boleh ada sinar senter. Persis seperti di film “The Beach” si Leonardo de Camprio.

Tepat jam 12 tengah malam, kami mulai tidur karena besok ada petualangan yang lebih seru lagi. Tidak semua cowok mau tidur di tenda. Hanya saya dan Agus tidur dalam satu tenda yang sama. Ramadhan tidur di tenda lain sendiri. Sementara Ikal, Ilham dan Citra tidur di atas pasir menggunakan sleeping bag dekat pantai.

Di saat teman-teman sudah pada terlelap semua, kebiasaan buruk saya muncul di sini. Saya terbangun dan makan lagi sendiri dengan lauk ayam bakar yang memang banyak. Satu orang bisa dapat 3 posrsi ayam bakar. Walau sendiri, saya bisa makan dengan lahapnya sambil memandang pantai dan merasakan tiupan angin laut disekujur tubuh.

Sambil makan, senter sempat saya arahkan ke pasir. Terlihat seperti 3 kantong mayat yang siap dievakuasi oleh tim SAR dan PMI. Terasa bulu kuduk saya berdiri seperti rambutnya Delon, si penyanyi Indonesian Idol. Saking takutnya, kecepatan makan saya tambahkan 3/5 kecepatan sebelumnya untuk segera menghabiskan semua makanan di piring. Setelah makan, saya mendekatinya dan rupanya Citra, Ilham, dan Ikal yang tertidur pulas menggunakan sleeping bag. Baru deh pikiran saya tenang.

Saat pemasangan tenda
Saat pemasangan tenda

Bersambung ke Memacu Adrenalin di Pulau Bunta (Bagian Kedua)

22 thoughts on “Memacu adrenalin di Pulau Bunta (Bagian Pertama)”

  1. Jadi beneran bangun tengah malam untuk makan? Hahahaha. Paragraf-paragraf terakhir itu bikin aku ketawa, Bang. Aku tidurnya cuma pake parasut ayunan tipis. Jam dua malam terbangun karena kedinginan lalu masuk tenda, tidur di samping Madhan. ๐Ÿ˜€ Nice story, Bang. Ijin share ke facebook ya…

  2. Asiik bnar dengan membaca petualngnnya,
    Timbul pertanyaaan knpa bang Citra, ikal, ilhm tidur diluar ya padahal tenda sudah ad?
    Apa krena tertidur atau memang mw sengaja untk menakuti org yg blm tidur ya?

  3. Ya Allah.. ini serasa pulau pribadi, senangnyaa…
    aku jatuh cinta sama terumbu karangnya pada nongol gituu, air lautnya juga jerniiihhh bangeett.. surgaaa

      1. Hehehe …. ๐Ÿ˜€ Sabang, pulau bunta, pulau nasi n pulau breuh, mereka tuh ce-es-san… dekat dekatan…. klo sanggup berenang boleh… wkwkw .. ๐Ÿ˜€

      2. Walau bisa berenang sekalipun, mana mau jg.,, hehe soalnya cuma dekat dimata saja, tapi jauh di hati…. hehehe … ๐Ÿ˜€ bisa melihat seolah deket banget… hehe ๐Ÿ˜€

        Sekali-kali, yuk.. Noe liburan ke Aceh … ๐Ÿ™‚

Leave a reply to Backpacker cilet-cilet Cancel reply